Geger Karena Film

Saya adalah penikmat film. Dan saya sangat suka menonton film-film yang berkualitas. Film-film yang berkualitas menurut saya adalah film yang mampu membuat saya merenungkan berbagai macam hal. Tentang kehidupan, tentang keluarga dan berbagai hal menarik lainnya. Ia tidak sekedar memberikan kepuasan batin, namun mampu mengajari tanpa menggurui. Itulah sebabnya saya menyukai film (yang berkualitas).

Film yang mampu memberikan pemahaman sekaligus kepuasan adalah film yang sangat saya gemari. Hiburan dapat, pemaknaan hidup juga dapet.

Well, tidak semua pelajaran harus dipelajari lewat formalitas. Banyak hal informal yang ternyata sangat menarik untuk direnungi. Dan mungkin saya karena tipe saya adalah tipe kinestetik. Yang harus merasakan dahulu baru mengetahui bagaimana bentuknya. Hal ini ketika berbicara tentang saya. Mungkin bakal berbeda hasilnya ketika menyangkut anda maupun dengan orang yang lain. Tiap orang berbeda dan memiliki ciri khas daripada yang lain.

Okey, kembali tentang masalah film. Jujur saya cukup kaget ketika melihat polemik kebijakan pemerintah vs penikmat film. Tidak saya sangka akan sebesar ini persoalannya. Mungkin karena jujur saja, di tempat sekarang yang saya tinggali tidak ada bioskop di wilayahnya. Jadi antara kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah ataupun kelak apabila dicabut maka tidak ada hal yang berubah di lingkungan saya ini.

Sampai-sampai beberapa teman saya mengritisi ini dengan cukup intens. Memperbandingkan dengan keilmuan yang ia miliki dengan kebijakan pemerintah. Ada pula beberapa khalayak yang berargumen dengan data-data yang ia miliki. Berkaitan dengan monopoli beberapa pihak terhadap film-film Hollywood yang beredar.

Yah saya hanya manggut-manggut saja dengan beberapa argumen itu. Tidak membenarkan sekaligus menolaknya. Karena memang saya tidak mengalami “kehilangan” yang sebegitu terasanya dengan kebijakan pemerintah ini. Dan poin yang perlu digarisbawahi, saya tidak suka berdebat dengan bidang yang tidak begitu saya minati. Meski diawal tulisan ini saya mengaku bahwa saya termasuk kalangan penikmat film berkualitas.

Jika saya ingin bersikap subjektif, sebenarnya film-film Hollywood ga semuanya bagus kok. Ada yang hancur dan busuk. Cuma memang beberapa film mampu digarap dengan sangat memukau. Baik dari sisi cerita maupun dari sisi visualnya. Tapi sialnya kebanyakan film lokal yang beredar, membuat saya cukup malu mengakui bahwa film-film tersebut buatan orang Indonesia. Memang, ketika saya melihat beberapa banner film yang terpampang di beberapa koran, judul-judul film Indonesia cukup “nggilani” alias menjijikkan.

Bagaimana tidak menjijikkan, terkadang judul-judulnya berbau mesum dan merangsang. Malah lebih sering film hantu yang hantunya saja terlihat konyol serta tidak logis.

Well, selamat datang di dunia perfilman Indonesia..

Mungkin dari inilah para penikmat film protes kenapa stock film Hollywood bakal terhenti dengan kebijakan pemerintah. Karena hampir tidak ada film buatan anak bangsa yang mencerahkan. Menghibur sekaligus memberikan pelajaran tanpa bersikap menggurui. Itulah poin utama sebuah film menurut saya.

MENGHIBUR sekaligus memberikan PENCERAHAN TANPA BERMAKSUD MENGGURUI.

Indonesia membutuhkan film-film yang memiliki kualitas seperti ini. Ini adalah sebuah tantangan yang ada.

Hanya segelintir sutradara hebat yang saat ini mampu membuat film yang mencerahkan. Taruhlah saja dengan seri “Nagabonar” serta “Alangkah Lucunya Negeri Ini”nya Deddy Mizwar, seri “Laskar Pelangi”nya Mira Lesmana, “Sang Pencerah”nya Hanung Bramantyo, “Emak Ingin Naik Haji” serta “Rumah Tanpa Jendela”nya Aditya Gumay.

Mohon maaf untuk beberapa film berkualitas lain yang tidak sempat saya sebutkan. Maklum, tiadanya bioskop serta saya tidak tega menonton film bajakan dari sineas Indonesia yang berkualitas.

Untuk film impor, jujur saja. Modal saya hanya koneksi internet yang lumayan untuk mengunduhnya. Yah, sayang rasanya untuk beli DVD yang asli. Karena hobi yang mendarah daging saya adalah hobi baca. Mending saya belikan beberapa buku dibandingkan membeli sekeping DVD asli. 😀

Tapi ada sebuah hal yang tidak ingin saya lakukan. Yaitu menonton film bajakan anak negeri. Tidak tega.

Saya tidak tega menonton film yang telah dibuat dengan susah payah di saat iklim perfilman yang ada menggerus nilai-nilai idealisme para produser kawakan. Saya pikir untuk membuat film “idealis” di negeri ini masih membutuhkan perjuangan yang lebih. Dan salah satu bahan bakar dari perjuangan itu adalah di bidang finansial. Jika saya membajak film Indonesia, maka saya mencomot nilai-nilai perjuangan yang dibawa oleh para produser idealis tersebut. Saya tidak tega.

Saya percaya tiap insan memiliki peran masing-masing di dalam perubahan. Jika sebagai guru maka ia berperan menjadi guru teladan, jika sebagai relawan maka ia bersungguh-sungguh jadi relawan tangguh, jika ia pengusaha maka ia berusaha menjadi pengusaha jujur, jiki ia produser maka ia berusaha membuat film-film yang memiliki “jiwa” dengan semangat idealismenya.

Inilah nilai-nilai perjuangan tersebut.

Saya memang tidak berada di posisi membenarkan maupun menyalahkan kebijakan pemerintah tersebut. Karena dengan kebijakan pemerintah itu, Hollywood akan menghentikan stock film-nya beredar di Indonesia. Sebab saya tidak paham dan hobi paling parah saya adalah membaca, bukan menonton.

Cuma saya berharap (meski saya jarang nonton, lebih banyak baca buku), akan ada banyak film-film yang berkualitas yang memiliki kategori yang bukan hanya “layak” untuk ditonton, namun akan memiliki kategori “harus” ditonton dari para sineas Indonesia.

Semoga Alloh memudahkan…