Profesi; Ibadah

Suatu ketika saya membeli ikan segar yang dijual di pinggir jalan dekat kontrakan saya. Maklum, tinggal di dekat pesisir pantai. Jadi hampir setiap sore ada nelayan yang menjual hasil tangkapannya setelah melaut sepanjang hari. Meski jujur, harganya termasuk lumayan mahal jika dibandingkan dengan posisi geografis Banda Aceh yang berada di pesisir pantai. Tapi lumayanlah.. Jauh lebih puas ketika memasak sendiri dibandingkan membeli di warung. Ada sisi-sisi refreshing ketika menggoreng ikan. Meski jujur saja, kucing saya si Bruno terkadang merasa enggan memakan hasil prakarya saya ini.

Biasanya saya membelinya sebelum atau sesudah sholat maghrib. Sekitar jam 7-8an waktu setempat. Jam segitu memang waktunya sholat Maghrib di Banda Aceh, jauh beda dengan kampung halaman saya di Karanganyar yang berkisar 5.30-6.30an waktu sholatnya. Waktunya pas sekali untuk membeli ikan. Sebab, setelah maghrib saya bisa membumbuinya serta mendiamkannya selama beberapa saat agar bumbu itu meresap dalam daging. Setelah isya barulah ikan ini dieksekusi di penggorengan.

Singkat cerita, yang namanya orang jualan ikan pastilah “bersenjatakan” pisau serta “peraut” sisik. Dua alat yang sangat vital. Pembeli tinggal pulang membawa ikannya yang sudah dibersihkan sisiknya serta jeroannya. Membawa pulang ikan yang sudah termutilasi dan tinggal dibersihkan serta dibumbui.

Yang namanya mencincang ikan, pastilah bukan pekerjaan bersih. Ia pasti terkotori oleh percikan darah serta daleman jeroan ikan. Tak lupa dengan bau amis ikan yang khas. Makanya tampilan para nelayan sekaligus penjual ikan ini cenderung kotor dengan kaus lusuh serta percikan daging ikan di sana-sini. Selain itu, karakter pelaut cenderung keras. Maklum, pekerjaan yang digeluti tidak “seaman” petani dan pedagang. Ia menghadapi karakter alam yang ganas. Berada di tengah lautan bermodalkan perahu kecil yang melihatnya saja membuat miris. Kecil dan terlihat rapuh dibandingkan dengan lautan yang sangat luas.

Tapi bukan ini yang menjadi persoalan. Wajar ketika mencari rezeki tubuh penuh dengan peluh serta kotoran. sangat wajar. Namun yang membuat miris adalah ketika saya membeli ikan ini waktunya sangat dekat dengan waktu sholat maghrib.

Saya bertanya-tanya di dalam hati apakah para nelayan ini sempat untuk sholat maghrib? Mengingat kondisi baju dan tubuh yang kotor sangat tidak layak untuk beribadah menghadap kepada Alloh. Bisa, tapi kurang afdhal ketika dihadapkan kepada situasi bahwa yang dihadapi adalah Sang Pencipta. Lha wong mau bertamu ke rumah orang aja kadang mantes-mantesin buat make baju yang cocok kok, masa’ menghadap ke Sang Pencipta pake baju lusuh kek gitu. Meski yaa sah-sah saja ketika baju sudah menutup aurat dan tidak ada najis yang menempel. Tapii yaa itu. Kalau dalam pepatah jawa berbunyi; “Ngono yo ojo ngono”.. Bisa sih begitu, tapi mbok ya jangan begitu lah..

Keadaan ini membuat saya miris. Miris karena saya hanya mampu bertanya di dalam hati, sementara untuk menanyakan lewat lisan saya tidak berani. Miris karena nggak bisa berbuat apa-apa.

Tapi satu hal yang bisa disyukuri adalah bahwa seberat-beratnya sebuah profesi atau pekerjaan, adalah pekerjaan yang mampu menyisihkan waktunya untuk melaksanakan ibadah. Sebenarnya esensi yang ada, ketika sebuah kegiatan dianggap sebagai ibadah, insyaAlloh maka ia akan dihitung sebagai ibadah. Kalau bisa meniatkan setiap kerja adalah ibadah yaa syukur sekali. InsyaAlloh pahala bakal mengalir, tapi minimal dalam setiap waktu kerja ada waktu untuk melaksanakan kewajiban kita beribadah wajib. Tidak mengakhirkannya namun mengawalkannya ketika waktu itu hadir.

Jujur, sebuah hal yang “sepele” ini terkadang tidak mampu dipenuhi. Ada saja kejadian-kejadian yang membuat kita mengakhirkan waktu-waktu ini. Padahal jika menyempatkan, masih bisa dan mampu kok mengawalkannya. Toh jika dibandingkan dengan keadaan nelayan yang saya tuliskan diatas, keadaan saya jauuuuuh lebih baik dan mudah untuk melaksanakan ibadah ini.

Mungkin inilah yang perlu terus menerus saya syukuri dengan keadaan ini. Meski jauh terpisahkan dengan kampung halaman. Meski tiap hari melihat serta mendengar hal-hal yang seharusnya dilaksanakan namun tidak terlaksana, namun tetap ada kemudahan untuk melaksanakan kewajiban beribadah. Tidak ada yang melarang! Hanyalah pada diri motivasi ini berpulang..

Semoga Alloh memudahkan dan memampukan dalam beribadah kepadaNya..

2 responses to “Profesi; Ibadah

Tinggalkan komentar