Kisah Kekinian & Kisah Masa Lalu

Bismillah…

Saya percaya contoh yang baik jauh lebih bagus apabila dibandingkan dengan sejuta kata. Akan lebih melecut dibandingkan dengan cambukan cemeti. Contoh yang baik insya Alloh akan menggerakkan jiwa-jiwa yang melihatnya, yang membacanya, yang mendengarnya. Sebab contoh yang baik adalah perkataan tanpa kata. Ia berkata melalui sekat-sekat hati.

Pun demikian dengan apa yang kita dengar, yang kita lihat, yang kita baca yang yang diperhatikan. Jika ia memiliki kualitas yang menggerakkan, maka tanpa disuruh-pun jiwa-jiwa akan tergerak dengan perilakunya.

Namun memang sial ketika melihat di Indonesia. Contoh yang baik mahal harganya. Sebenarnya ia berserak dimana saja, namun sayang sekali yang kecil dan terserak itu biasanya terabai oleh hal-hal yang lainnya. Yang terkadang hal-hal lainnya itu adalah sebuah kejadian yang sepele dan kecil, namun dipersoalkan sedemikian rupa hingga sedemikian hal itu seolah-olah menjadi sangat penting.

Malam ini saya mendapatkan sebuah contoh buruk dan contoh baik. Sebuah kejadian yang memang tidak saling sambung dengan rentang waktu jauh lamanya. Sebuah kejadian terkini dan kejadian ratusan tahun silam.

I. Kisah Kekinian


Dalam kekinian masa ini, saya ingin menuliskan masalah yang sebenarnya sangat sepele. Namun entah kenapa, hal sepele ini diperumit dengan keras kepalanya satu orang tokoh beserta dengan “konco-konco”nya. Saya ingin menuliskan salah satu episode Nurdin PSSI.

Sebenarnya kepemimpinan ini dipenuhi banyak hal yang absurd. Aneh. Well, jujur saja saya bukan penggemar fanatik tentang sepakbola. Namun keanehan organisasi yang mengayomi persepakbolaan di Indonesia ini patut mendapatkan perhatian. Ada beberapa poin yang aneh di dalam peristiwa kekinian itu;

  1. Bagaimana mungkin seorang TERSANGKA (lebih tepatnya seorangĀ TAHANAN) memimpin sebuah organisasi besar. Yang anehnya Nurdin tidak secara legowo, tidak secara jantan, tidak secara fair untuk meletakkan jabatan yang notabene-nya adalah amanah. Apa dari 240 juta penduduk Indonesia ini tidak ada yang BISA menggantikan kepemimpinan Nurdin ketika di penjara? Aneh bukan?
  2. Nurdin berbicara tentang harga diri. Harga diri ia sendiri dan harga diri PSSI. Well, jika saya sebagai Nurdin, mungkin saya sudahbunuh diri karena saking malunya menampakkan muka karena status terdahulu saya sebagai tersangka. Dan ketika tuntutan mundur semakin kencang, bukankah itu menunjukkan KEEGOISAN dirinya sendiri dibandingkan harga diri yang digembar-gemborkan?

Banyak fakta yang lainnya. Namun tidak saya tulis. Saya rasa kedua hal itu SUDAH SANGAT CUKUP ketika berbicara tentang masalah kehormatan. Secara psikologis, sudah sangat wajar untuk merasa malu dengan status yang disandang.

Namun tentu saja itu bukan hanya salah Nurdin. Saya pernah membaca sebuah tulisan di buku yang berjudul Bukan (hanya) Salah Fir’aun. Pas banget tulisan ini sama dengan judul dari buku itu. Sebuah kumpulan ibroh (hikmah) yang ada di dalam majalah sabili. Sebagaimana kita ketahui, Fir’aun adalah seorang tiran yang lalim. Mengaku tuhan, menyembelih anak-anak kaum Bani Israil. Pendek kata Fir’aun di masa ini adalah seorang tiran kejam namun tidak logis.

Bagaimana mau logis ketika Fir’aun mengaku sebagai tuhan. Tuhan yang menciptakan alam. Bukannya tidak logis.

Pernah ada dialog di masa sebelum Fir’aun. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan raja Namrud. Ketika Namrud mengaku bahwa ia bisa menghidupkan serta mematikan. Contohnya dengan ia membunuh siapa yang ia mau dan melepaskan hidup-hidup atas kemauannya pula. Namun dibalas dengan kalimat yang indah; “Alloh mampu menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, begitulah kata Nabi Ibrahim. Dan sang tirani terbungkam.

Maka sungguh sangat tidak logis ketika seorang tiran mengaku sebagai tuhan.

Kembali kepada Fir’aun. Ketika ia mengaku-aku sebagai tuhan, maka sungguh sangat tidak logis. Konyol. Namun sejarah berkata lain. Ketidak logisan itu ternyata mengalami pembenaran. Terbukti dengan kejahiliyahan Fir’aun mengumumkan legitilimasinya sebagai tuhan. Kekejaman dilakukan atas nama kekuasaan.

Hey.. Tapi ketika berbicara tentang kekuasaan. Tentu Fir’aun seorang tak kan mampu melakukan kekejaman itu. Ia seorang tak kan mampu melakukan aksi yang menyejarah dengan “one man action”. Ada pembenaran-pembenaran yang dilakukan melalui perpanjangan tangannya lewat para bawahannya. Fir’aun tak kan mampu berkuasa jika para bawahannya menentangnya. Maka ketika satu fragmen sejarah melukiskan tentang kekejaman Fir’aun, maka sesungguhnya dibaliknya ada kekejaman berjamaah yang tidak tertuliskan. Kesalahan ini memang jamaknya hanya diletakkan pada Fir’aun seorang, namun pada hakikatnya para bawahannya-pun turut andil ketika mereka tidak mampu memberikan masehat atau bahkan mencegah Fir’aun untuk berbuat lalim.

Kembali ke realitas kekinian. Nurdin tak kan mampu menggenggam erat kekuasaan PSSI dengan tangannya seorang. Lantas sebagaimana panggung sejarah yang biasanya terulang kembali. Kesalahan rezim Fir’aun kembali terulang di PSSI. Maka berbondong-bondonglah para oknum PSSI berusaha menggenggam kekuasaan (kembali) dengan taktik basi. Yang sesungguhnya masayrakat di zaman sekarang mampu “membaca” apa yang sebenarnya terjadi.

Maka yang nampak adalah muka-muka yang mungkin akan tercatat abadi di dalam sejarah. Sejarah yang suram tentunya. Well, mungkin hanya waktu yang mempu menjawab bagaimana ending dari kemelut PSSI ini.

Akan jauh berbeda dengan keharuman nama kisah masa lalu yang akan saya sajikan berikut ini.

II. Kisah Masa Lalu


Kisah yang satu ini adalah penggalan dari “Taiko”, kisah menyejarah tentang Toyotomi Hideyoshi. Kisah perjuangan “monyet” tanpa nama serta tanpa status apa-apa menjadi salah satu pilar pembaharu Jepang. Kisah yang sangat luar biasa!

Tentu tidak akan saya ulas buku seberat hampir satu kilo ini. He he.. ukurannya bukan halaman lagi, tapi satuannya udah kilo.

Di zaman itu adalah zaman huru-hara Jepang. Peperangan terjadi dimana-mana. Perebutan kekuasaan sudah menjadi hal yang biasa. Pendek kata, zaman itu adalah zaman dimana rakyat Jepang tidak bisa hidup dengan damai.

Hideyoshi ketika itu adalah seorang pejabat di bawah pimpinan Nobunaga. Nobunaga yang terkenal keras (bahkan beberapa pihak menyebutnya kejam) namun memiliki visi yang panjang mengenai satu pemerintahan di Jepang. Meski ia terkenal dengan beberapa tindakannya yang kontroversial, namun ia adalah salah satu pembaharu juga di masyarakat Jepang.

Secara ringkas ketiga pilar pembaharu ini dilukiskan dalam sebuah puisi;

Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?

Nobunaga menjawab; “Bunuh saja!!”

Hideyoshi menjawab; “Buat burung itu ingin berkicau”

Ieyasu menjawab; “Tunggu”

Well, sekilas sudah bisa ditebak bukan bagaimana sifat masing-masing tokoh yang menyejarah itu?

Singkat cerita, suatu ketika Hideyoshi ingin menemui salah satu jenderal di provinsi musuh, jenderal Kagekatsu. Posisi Hideyoshi ketika itu adalah sebagai pejabat dibawah pimpinan Nobunaga. Di zaman perang, sudah menjadi sangat umum dengan lobi-lobi politik tingkat tinggi. Negosiasi sudah menjadi hal yang biasa. Namun biasanya sebelum ada proses negosiasi, dimulai terlebih dahulu dengan pengiriman kurir ke masing-masing pihak. Dan kode etik yang tidak tertulis menyebutkan bahwa kurir tidak boleh dibunuh.

Kode etik berarti harga diri.

Namun Hideyoshi melakukan sebuah hal yang berbeda di masa itu. Hideyoshi menganggap bahwa jenderal Kagekatsu adalah seorang yang besar, terhormat dan disegani. Maka dengan penuh percaya diri ia datang beserta segelintir pengikutnya ke benteng tempat bercokol Kagekatsu. Bayangkan suasana yang ada. Dengan sumber daya yang minim, namun berani memasuki benteng musuh.

Di masa itu-pun Hideyoshi terkenal juga sebagai bawahan yang meroket karirnya. Apa yang ia pimpin, maka arus pembaharuan serta kemajuan pasti ada! Kemajuan di pihak sendiri pastinya. Dan tentu saja kemajuan di pihak sendiri pasti membuat khawatir pihak musuh.

Dan sangat logis ketika Hideyoshi yang menjadi ancaman dengan sengaja masuk ke sarang musuh adalah sebuah berkah tersembunyi. Tentu sangat wajar ketika pihak yang berseberangan memasuki sarang musuh dianggap sebagai aksi bunuh diri. Sebab bisa saja pihak lawan membunuh Hideyoshi karena ia hanya sendirian. Tak sulit karena Hideyoshi bukanlah seorang pendekar yang mumpuni. Tak sulit tentunya. Tinggal menyediakan sejumlah samurai maka nyawa Hideyoshi akan tamat dengan mudahnya.

Dan peluang itu ada, beberapa bawahan Kagekatsu bahkan menyarankan membunuh Hideyoshi begitu ada kesempatan. Aji mumpung.

Namun ada salah satu pernyataan bawahan Kagekatsu yang menyejarah;

“Hideyoshi datang ke tempat ini tanpa perlindungan”

“Bukan tindakan tolol, tapi sebagai bukti rasa hormatnya yang dalam kepada Lord Kagekatsu. Ia tak akan mengambil resiko seperti itu seandainya ia berhadapan dengan orang yang lain. Karena ia menjunjung tinggi reputasi tuan yang agunglah, maka ia mempercayakan dirinya kepada kita.BILA KITA MENYALAHGUNAKAN DAN MEMBANTAINYA, KISAH KELICIKAN KITA AKAN TERUS TURUN HINGGA KE ANAK CUCU KITA

Sebuah kelimat yang dahsyat sekali! “Kisah kelicikan kita akan terus turun ke anak cucu kita”, begitulah bawahan menasehati Kagekatsu. sebuah kalimat yang sederhana, namun mampu memberikan kesadaran hingga beratus-ratus tahun lamanya.

Memang ironis dengan kisah masa kini dan masa lalu. Dan memang sialnya kisah kekinian itu banyak terjadi di Indonesia saat ini. Yang terus terang saja, sudah membuat saya muak dengan keadaan negara ini. Masa’ tidak ada teladan-teladan yang mampu memberikan contoh bagaimana menjadi seorang yang terhormat? Dan kalaupun ada, kenapa tidak di ekspose hingga mampu menggerakkan jiwa-jiwa yang gelisah?

Memang, kondisi yang ada menyuburkan aroma pesimisme kemajuan. Dari segala sisi bangsa ini diserang serta dilemahkan hingga tak tahu bagaimana arahnya.

Namun, Alloh adalah persangkaan para hambaNya. Semoga kenyataan yang ada, tak menyurutkan langkah untuk berbuat yang terbaik. Meski jalannya terjal berliku, namun ada HARAPAN di depan sana. Ketika terus maju dan bergerak, maka keajaiban (yang diharapkan) insya Alloh akan hadir dengan segala usaha-daya-upaya serta doa.

Semoga Alloh memberikan kemudahan serta memampukan…

Nasionalisme Abal-abal?

 

Saya sering merasa bahwa masyarakat kita ini adalah masyarakat yang aneh. Kenapa? Karena ada beberapa hal yang bersifat seremonial sementara di lain hal, ketika sesuatu yang seremonial ini diuji dengan sebuah hal yang kecil, akan nampak mana seremonial yang benar-benar tulus atau tidak.

Seremonial, saya sedikit menerangkan tentang apa yang saya anggap sebagai seremonial. Simpelnya adalah; “Pernahkah anda upacara bendera?”. Well, saya pikir hampir semua orang menjawab “ya”.

Upacara bendera adalah sebuah hal yang dahsyat sebenarnya. Dimana jika terlaksana dengan benar, maka proses komunikasi antara pemimpin dengan bawahan akan terjalin. Meski jujur saja, komunikasi yang ada hanyalah komunikasi satu arah. Namun, setidaknya sebagai warga masyarakat sekolah, akan memahami beberapa kebijakan melalui penyampaian komunikasi lewat upacara bendera.

Tapi apakah hasilnya seperti itu?

Nyatanya beberapa hal terjadi sebaliknya. Banyak yang membenci upacara bendera. Kenapa? Karena rata-rata menganggap itu tidaklah penting.

Sama lain halnya dengan beberapa acara yang diada-adakan. Misalnya tentang peringatan ini dan itu. Hari pahlawan, hari pendidikan dan berbagai hari-hari yang lainnya.

Saya seringkali menganggap hal-hal itu bukanlah esensi dari perwujudan kenangan atas beberapa hari yang penting itu. Hanya sekedar perayaan tanpa mengupas tuntas “isi” dari peringatan tersebut.

Apakah hal ini termasuk gila pesta?

Wallahu a’lam.. Mungkin ini adalah bentuk masyarakat harmonis khas bangsa timur. Masyarakat yang akrab dan lekat dengan budaya timur yang penuh dengan toleransi. Mungkin inilah bentuk “adat” yang nyata dalam masyarakat kita.

Tentu ada sisi negatif dan positifnya. Negatifnya saya menganggap hal ini hanya bersifat “resmi-resmian” saja, sementara efek positif yang nampak adalah bentuk kerukunan dan keakraban serta silaturahmi yang terjalin. Meski sekarang ada beberapa pandangan mengenai efek dari acara-acara yang bersifat seremonial ini. Jujur, sebagai seorang yang sering “grusa-grusu” khas anak kemarin sore, saya sering menganggap acara seremonial seperti ini sebagai bentuk acara yang rumit, njlimet dan tidak praktis. Namun, ketika hendak membangun relasi, komunikasi serta hubungan-hubungan yang lain, memang mau tidak mau harus memanfaatkan sesuatu yang bersifat seremonial. Tentu saya tidak menafikan tentang acara-acara seperti ini.

Okey, cukup tentang penjelasan seremonial ini. Tentu panjang lebar serta membosankan.

Ada sebuah hal yang menggelitik. Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan seremonial yang saya terangkan diatas.

Teringat dengan dua buah kejadian yang berurutan dalam rentang waktu yang tidak begitu lama. Beserta dengan satu event penting. Dua peristiwa dan satu event penting ini memiliki embel-embel “Nasional is Me” dalam bahasa kerennya. Sebut simpel saja “Nasionalisme”.

Satu event penting itu adalah piala AFF 2010. Sebuah event olahraga yang ternyata mampu menyatukan diri rakyat Indonesia. Saling dukung dan saling tepuk tangan membahana untuk skuad lapangan tempur. Segala hal memerah putih.

“Belah dadaku! Ada merah putih di dalamnya!”, begitulah semangat ini membahana.

Yang pasti ada kebanggan menelusup ketika mendukung skuad merah putih. Ketika berteriak kegirangan dan dada berdegub kencang melihat bola yang mengulir diantara kaki-kaki pemain, doa-doa terucap mengharapkan kemenangan.

Menurut saya, ini adalah saat yang membuat diri merasa menjadi bagian dari Indonesia yang besar ini. Terlihat dari antusiasme warga ketika merayakan kemenangan dan kekecewaan yang mendalam ketika kekalahan pahit itu tercecap.

Namun.

Sekali lagi namun… Apakah nasionalisme ini nasionalisme cap abal-abal?

Saya menyangsikannya ketika mengulas dua peristiwa yang berurutan.

Pertama, tentang wacana pemblokiran Blackberry serta yang kedua tentang isu bahwa pihak MPA akan memboikot film Hollywood ke Indonesia.

Apa pasal? Ternyata untuk kedua hal yang bersifat kedaulatan negara itu, banyak ditentang oleh rakyatnya sendiri. Ramai-ramai menghujat serta menyalahkan. Bola panas menggelinding kemana-mana.

Blackberry.. Layanan ini sangat rawan menurut saya jika negara tidak memiliki kontrol. Well, saya bukan penganut paham diktatorisme seperti yang nampak di beberapa belahan negara yang lainnya. Yang menutup akses beberapa hal mengenai akses data. Namun saya berpikir tentang data-data rahasia yang tersimpan di dalam media penyimpanan pihak lain.

Tentu saya tidak cukup bodoh bukan? Bandingkan saja ketika anda memasukkan beberapa kata di dalam Google. Langsung keluar dengan hasil yang mendekati maksud anda bukan? Say menganalogikan layanan Blackberry dengan layanan Google. Data sekilas yang pernah saya baca, Indonesia termasuk kelas wahid dalam mengakses situs porno. Data ini didapatkan dari Google.

Bayangkan! google yang bersifat terbuka saja mampu menunjukkan sisi yang lain bangsa Indonesia, apalagi yang bersifat tertutup?

Sedangkan yang kedua adalah masalah film asing wa bil khusus film Hollywood. Isu yang sangat aktual. Hangat sekaligus panas!

Apa pasal? Hujatan banyak ditujukan ke pemerintah!

Masa’ sih sampai segitunya mengenai film-film Hollywood ini? Seolah-olah tanpa film Hollywood, ada bagian besar rutinitas yang hilang. Ada hiburan yang menghilang tepatnya.

Memang, sialnya film-film lokal banyak yang murahan. Dari cerita yang murahan, aktor yang murahan sampai-sampai iklannya-pun murahan. Meski tidak semua. Ada beberapa sutradara top dan idealis dalam membuat film-film bermutu.

Tapi lagi-lagi emosi yang dikedepankan. Ramai-ramai menghujat pemerintah. Telunjuk dengan pasti terarah. Padahal, berita itu hanyalah isu saja. Belum terklarifikasi. Hanya sebatas sudut pandang salah satu pihak saja.

Sebagaimana dengan berita di sini dan di sini. Akhirnya ada kejelasan bahwa isu tersebut dihembuskan oleh juru bicara pihak penyelenggara bioskop serta kejelasan tentang ketidakberesan impor film.

Ketika ini saya merasa bahwa ternyata dengan majunya teknologi yang ada melalui internet dan media massa yang lainnya, diikuti dengan kritisnya masyarakat. Ramai-ramai menghujat serta menyalahkan.

Apakah sebelum menyalahkan sudah ada data yang benar?

Apakah sebelum menghujat sudah ada konfirmasi beberapa pihak terkait?

Yang pasti sebuah kesimpulan yang saya tangkap melalui pemikiran saya, bangsa ini SANGAT TERGANTUNG KEPADA PIHAK ASING. Yang ironisnya, inferioritas alias ketidakpercayaan diri itu masih tetap ada di dalam ketergantungan terhadap pihak asing tersebut.

Blackberry & Hollywood…

Produk yang lebih banyak dimanfaatkan “fun”nya doang ketimbang dengan hal yang lainnya. Maklum, masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif. Tidak perlu data njlimet, cukup lihat fakta di jalanan saja. Nampak kok.

Tapi dengan adanya “insiden” Blackberry serta Hollywood ini membuat satu pertanyaan muncul di dalam dada saya;

“Apakah nasionalisme yang digembar-gemborkan ini adalah nasionalisme abal-abal?”

Geger Karena Film

Saya adalah penikmat film. Dan saya sangat suka menonton film-film yang berkualitas. Film-film yang berkualitas menurut saya adalah film yang mampu membuat saya merenungkan berbagai macam hal. Tentang kehidupan, tentang keluarga dan berbagai hal menarik lainnya. Ia tidak sekedar memberikan kepuasan batin, namun mampu mengajari tanpa menggurui. Itulah sebabnya saya menyukai film (yang berkualitas).

Film yang mampu memberikan pemahaman sekaligus kepuasan adalah film yang sangat saya gemari. Hiburan dapat, pemaknaan hidup juga dapet.

Well, tidak semua pelajaran harus dipelajari lewat formalitas. Banyak hal informal yang ternyata sangat menarik untuk direnungi. Dan mungkin saya karena tipe saya adalah tipe kinestetik. Yang harus merasakan dahulu baru mengetahui bagaimana bentuknya. Hal ini ketika berbicara tentang saya. Mungkin bakal berbeda hasilnya ketika menyangkut anda maupun dengan orang yang lain. Tiap orang berbeda dan memiliki ciri khas daripada yang lain.

Okey, kembali tentang masalah film. Jujur saya cukup kaget ketika melihat polemik kebijakan pemerintah vs penikmat film. Tidak saya sangka akan sebesar ini persoalannya. Mungkin karena jujur saja, di tempat sekarang yang saya tinggali tidak ada bioskop di wilayahnya. Jadi antara kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah ataupun kelak apabila dicabut maka tidak ada hal yang berubah di lingkungan saya ini.

Sampai-sampai beberapa teman saya mengritisi ini dengan cukup intens. Memperbandingkan dengan keilmuan yang ia miliki dengan kebijakan pemerintah. Ada pula beberapa khalayak yang berargumen dengan data-data yang ia miliki. Berkaitan dengan monopoli beberapa pihak terhadap film-film Hollywood yang beredar.

Yah saya hanya manggut-manggut saja dengan beberapa argumen itu. Tidak membenarkan sekaligus menolaknya. Karena memang saya tidak mengalami “kehilangan” yang sebegitu terasanya dengan kebijakan pemerintah ini. Dan poin yang perlu digarisbawahi, saya tidak suka berdebat dengan bidang yang tidak begitu saya minati. Meski diawal tulisan ini saya mengaku bahwa saya termasuk kalangan penikmat film berkualitas.

Jika saya ingin bersikap subjektif, sebenarnya film-film Hollywood ga semuanya bagus kok. Ada yang hancur dan busuk. Cuma memang beberapa film mampu digarap dengan sangat memukau. Baik dari sisi cerita maupun dari sisi visualnya. Tapi sialnya kebanyakan film lokal yang beredar, membuat saya cukup malu mengakui bahwa film-film tersebut buatan orang Indonesia. Memang, ketika saya melihat beberapa banner film yang terpampang di beberapa koran, judul-judul film Indonesia cukup “nggilani” alias menjijikkan.

Bagaimana tidak menjijikkan, terkadang judul-judulnya berbau mesum dan merangsang. Malah lebih sering film hantu yang hantunya saja terlihat konyol serta tidak logis.

Well, selamat datang di dunia perfilman Indonesia..

Mungkin dari inilah para penikmat film protes kenapa stock film Hollywood bakal terhenti dengan kebijakan pemerintah. Karena hampir tidak ada film buatan anak bangsa yang mencerahkan. Menghibur sekaligus memberikan pelajaran tanpa bersikap menggurui. Itulah poin utama sebuah film menurut saya.

MENGHIBUR sekaligus memberikan PENCERAHAN TANPA BERMAKSUD MENGGURUI.

Indonesia membutuhkan film-film yang memiliki kualitas seperti ini. Ini adalah sebuah tantangan yang ada.

Hanya segelintir sutradara hebat yang saat ini mampu membuat film yang mencerahkan. Taruhlah saja dengan seri “Nagabonar” serta “Alangkah Lucunya Negeri Ini”nya Deddy Mizwar, seri “Laskar Pelangi”nya Mira Lesmana, “Sang Pencerah”nya Hanung Bramantyo, “Emak Ingin Naik Haji” serta “Rumah Tanpa Jendela”nya Aditya Gumay.

Mohon maaf untuk beberapa film berkualitas lain yang tidak sempat saya sebutkan. Maklum, tiadanya bioskop serta saya tidak tega menonton film bajakan dari sineas Indonesia yang berkualitas.

Untuk film impor, jujur saja. Modal saya hanya koneksi internet yang lumayan untuk mengunduhnya. Yah, sayang rasanya untuk beli DVD yang asli. Karena hobi yang mendarah daging saya adalah hobi baca. Mending saya belikan beberapa buku dibandingkan membeli sekeping DVD asli. šŸ˜€

Tapi ada sebuah hal yang tidak ingin saya lakukan. Yaitu menonton film bajakan anak negeri. Tidak tega.

Saya tidak tega menonton film yang telah dibuat dengan susah payah di saat iklim perfilman yang ada menggerus nilai-nilai idealisme para produser kawakan. Saya pikir untuk membuat film “idealis” di negeri ini masih membutuhkan perjuangan yang lebih. Dan salah satu bahan bakar dari perjuangan itu adalah di bidang finansial. Jika saya membajak film Indonesia, maka saya mencomot nilai-nilai perjuangan yang dibawa oleh para produser idealis tersebut. Saya tidak tega.

Saya percaya tiap insan memiliki peran masing-masing di dalam perubahan. Jika sebagai guru maka ia berperan menjadi guru teladan, jika sebagai relawan maka ia bersungguh-sungguh jadi relawan tangguh, jika ia pengusaha maka ia berusaha menjadi pengusaha jujur, jiki ia produser maka ia berusaha membuat film-film yang memiliki “jiwa” dengan semangat idealismenya.

Inilah nilai-nilai perjuangan tersebut.

Saya memang tidak berada di posisi membenarkan maupun menyalahkan kebijakan pemerintah tersebut. Karena dengan kebijakan pemerintah itu, Hollywood akan menghentikan stock film-nya beredar di Indonesia. Sebab saya tidak paham dan hobi paling parah saya adalah membaca, bukan menonton.

Cuma saya berharap (meski saya jarang nonton, lebih banyak baca buku), akan ada banyak film-film yang berkualitas yang memiliki kategori yang bukan hanya “layak” untuk ditonton, namun akan memiliki kategori “harus” ditonton dari para sineas Indonesia.

Semoga Alloh memudahkan…

****** jadi PSSI?

Indonesia pada tahun 2010 tercatat memiliki 237 juta penduduk. Jumlah yang sangat fantastis. Luar biasa apabila seluruh potensi yang ada tergali. Luar biasa sekali apabila negeri ini potensinya tergali dengan benar. Bayangkan apabila 10 persen saja rakyat Indonesia adalah golongan pemuda yang memiliki semangat menggelora diimbangi dengan ilmu pengatahuan yang memadai serta akhlak yang lurus.

Hal itu berarti 23,7 juta jiwa yang mampu menggerakkan. Sangat luar biasa sekali!

Ada seorang sahabat yang suatu ketika mengikuti Training of Trainer di kantor pusat instansi kami di kawasan Gatot Subroto kavling 40-42. Di dalam coaching tersebut ada seorang trainer terkenal yang nyeletuk; “Susah sekali instansi ****** berubah”

What the… Ternyata si trainer curcol dengan beberapa pelatihannya.

“Dari petinggi tidak mampu mendukung untuk berubah, paradigma lama masih dipakai di jaman baru ini”, begitulah keluhnya ketika bercerita tentang reformasi birokrasi. Dan alhamdulillah, beliau merasakan hal yang berbeda ketika mengadakan pelatihan di instansi kami. Ada angin perubahan yang berhembus menuju perbaikan.

Percakapan itu mengingatkan saya dengan sebuah kejadian yang beru-baru ini berlangsung. Sebuah proses suksesi kepemimpinan. Dari kepemimpinan yang lama menjadi hal yang baru. Sebuah perubahan sangat diharapkan.

Namun sayangnya dari keempat calon yang ada, yang terpilih hanyalah 2 bakal calon. Itu-pun yang satu adalah seorang telah benar-benar TERBUKTI GAGAL memimpin sejak tahun 2003!

Logika saya yang malas saja masih mampu kok memaksa saya berpikir secara sehat. Orang yang sejak 7 tahun lebih memimpin dan TANPA PRESTASI yang membanggakan kok masih saja MAU MENCALONKAN diri sendiri! Dimana rasa malu dan harga diri dari yang bersangkutan?

Well, kekeras kepalaan yang bersangkutan memang tangguh. Super bebal!

Tapi yang tak habis pikir, pencalonan ini adalah sebuah kerja kolektif. Kerja satu team untuk merumuskan, menimbang dan memilih kriteria yang ada. Bukan hanya keputusan sepihak dua pihak. Namun banyak pihak yang terlibat. Dan pihak-pihak ini adalah pihak yang memiliki kuasa besar di dalam instansi tersebut. Sebab, pihak ini telah diamanahi oleh instansi tersebut guna menimbang kepemimpinan dalam 4 tahun ke depan.

Tentu bukan keputusan yang main-main saja.

Tapi kenapa pihak yang diamanahi tersebut tidak mampu berlogika secara paling sederhana? Sudah 2 periode terlewati dengan tanpa hasil yang membanggakan. Tapi kenapa yang bersangkutan masih terpilih? Akankah analisis seorang trainer yang saya kemukakan di depan bakal terbukti? Bahwa instansi yang saya tulis ****** diatas dapat tergantikan oleh susunan huruf PSSI?

Ah, mungkin memang pengandai-andaian saya berlebihan. Tapi yang pasti, saya sangat berharap di dalam EYD kita, KORUPSI jangan sampai bertranformasi menjadi KORUPSSI.

Cukup satu “S” saja.

Seeing is Believing?

Terkadang saya merasa stuck dengan yang namanya ide. Berjejalan, namun ketika dituliskan mentok pada satu hal; Foto! Saya tidak punya gambar-gambar yang layak untuk dipajang. Dan jikapun punya, proses edit dan upload ke picasa, saya butuh sebuah entitas yang bernama waktu. Dan ketika berbicara tentang waktu, berkaitan dengan mood. Dan mood sangat berhubungan erat sekali dengan tulisan saya.

Ngeles yang pinter bukan?

Intinya mungkin satu hal; Saya Malas. Malas untuk berbagi apa yang nampak di mata saya melalui bukti otentik. Foto. Padahal ketika berbicara tentang perjalanan, yang sangat berpengaruh adalah bukti otentik dari perjalanan itu. Dokumentasi foto!

Well, saya sadar saya bukan fotografer. Modal saya hanya hape berkamera yang beresolusi 3,1 megapiksel doang. Itu-pun kalau malam hari digunakan, gambar yang nampak malah mirip penampakan makhluk halus. Dan seringkali karena asyiknya saya menikmati pemandangan yang ada membuat saya lupa diri untuk mengambil dokumentasi yang ada.

Alhasil, selama perjalanan yang ada, saya hanya memiliki oleh-oleh berupa tulisan saja. Gedabrusan saya inilah bentuk otentiknya. Kalau foto, he he.. Jangan tanya..

Tapi sepedaan malam ini jadi membuat saya berpikir. Berpikir gimana ngakalin untuk postingan blog saya ini. Setelah dipikir-pikir, ngasal banget saya bikin blog ini. Perpaduan warnanya datar, gambar jarang ada dan kebanyakan full tulisan doang.

Mungkin jika diibaratkan sebagai sebuah gedung, kok blog saya ini mirip kamar mayat yah. Rame sih tulisannya, cuman kok ga ada “nyawa”nya. Tapi setidaknya, tidak mirip kuburan. Bagi saya, kuburan adalah sebuah bentuk mati suri-nya sebuah blog. Sedangkan kamar mayat, sesuram apapun masih ada penjaganya.

Ah.. Back to topic.

Sepedaan malam ini begitu berkesan. Indah banget dengan suasana terang rembulan di malam hari. Apalagi berpadu dengan semilirnya angin pantai. Nyaman.

Dan saya ingin berbagi tentang kenyamanan yang saya rasakan ini. Melalui tulisan dan melalui gambar yang ada. Saya ingin berkata; “Banda Aceh itu kayak gini lho…”. Di ujung Indonesia tempatnya, tapi rame dan keren! Cuma sayang, saya ga ada fotonya! (dan malas upload fotonya)

Saya hanya bisa bercerita bahwa jam 11an malam sepedaan masih terlihat lazim disini. Menikmati sejuknya pantai. Menikmati kesendirian saya yang mengayuh sepeda, menikmati tenangnya suasana pantai. Nyaman sekali.

Padahal, jika saya berpikir mengandaikan diri sebagai pembaca blog saya. Saya ingin melihat dengan mata kepala saya sendiri tentang perjalanan saya. Bukan hanya tulisan doang, tapi keindahan yang tidak bisa diuraikan oleh kata.

“Satu gambar, berjuta makna”

Mungkin itulah yang saya sadari. Satu gambar, namun pemaknaan tiap orang berbeda. Ketika saya melihat satu objek, saya akan memaknainya sesuai dengan kapasitas saya. Tidak menggurui. Saya membiarkan dengan bebas angan para penikmat gambar saya itu.

Sedangkan ketika saya bercerita melalui tulisan seperti ini. Saya hanya menggambarkan apa yang ada di dalam benak saya. Bukan benak pribadi masing-masing.

Padahal setiap diri memiliki sudut pandang yang berbeda. Saya malah merasa berdosa kesannya.

Ketika saya hanya mampu berbagi atas apa pemikiran di dalam benak saya. Bukan berbagi sesuatu yang nampak dan bisa didiskusikan. Ada komunikasi yang terjalin.

Ah… Saya mohon maaf jika memang ada kata saya yang salah. Tentang apa yang tertulis dan tergurat di dalam blog ini. Tentang betapa “sok”nya saya menggurui anda…

Semoga Alloh memampukan kita..