Luka

Luka adalah sebuah hal yang biasa dialami. Dari yang sederhana sampai rumit berjalinan. Sebuah akibat dari tindakan yang diambil baik sengaja maupun tidak.

Ia dibagi menjadi dua buah luka. Luka fisik dan luka hati.

Percaya atau tidak, separah apapun luka fisik. Ia jauh lebih sederhana apabila dibandingkan dengan luka hati. Believe me, it’s true.

Luka fisik mudah tersembuhkan dengan perawatan khusus. Meski pada akhirnya ia meninggalkan beberapa cacat dan bopeng luka. Namun sepanjang jiwanya sehat, si pemilik luka dapat dengan bangga memamerkan bekas lukanya itu kepada khalayak sambil mengisahkan tentang darimana asal luka itu. Percayalah, ini dunia aneh para laki-laki.

Namun sebegitu sederhananya luka fisik, apabila jiwanya memar karena terluka. Ia akan terus menutup diri selama luka hatinya belum sembuh. Tak ada yang bisa menyembuhkan luka hati melainkan karena usaha yang gigih beserta pertolongan Alloh. Usaha-nya itu yang susah. Ketika penerimaan atas luka belum hadir, maka luka hati akan tetap menganga.

Malam ini saya menuliskan tentang luka. Apakah saya pernah terluka? Lebih spesifik lagi karena luka hati?

Saya jawab jujur, saya pernah merasa terluka secara hati. Dan rasanya berat. Seolah-olah dunia menjadi berwarna muram. Abu-abu dan hitam saja yang nampak di pandangan. Dan luka ini jauh lebih berat dibandingkan beratnya luka fisik. Karena jiwa adalah kehidupan itu sendiri. Sedangkan fisik hanyalah “wadah” bagi kehidupan jiwa itu.

Saya sadar pernah terluka. Meski bekasnya telah mengering, namun perihnya terkadang masih terasa. Karena yang namanya penerimaan itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang sih untuk menerima kenyataan, namun untuk merelakannya butuh perjuangan. Dan saya akui, butuh energi yang lebih untuk memperjuangkan penerimaan itu. Dan butuh ketelatenan agar luka itu tak muncul kembali.

Saya sadar, jiwa yang terluka hanya mempunyai dua pilihan. Satu pilihan untuk merapuh dan yang kedua pilihan untuk menguat. Tiap luka memiliki dua pilihan tersebut. Merapuh ketika ia tak mampu menanggung beban dan menguat ketika ia mampu menghadapi beban yang lebih berat lagi.

Ah sudahlah. Bukan ini yang sebenarnya ingin saya bahas. Intermezo saja.

Lembaran-lembaran buku ini menghantarkan saya tentang bab luka. Luka diantara ukhuwah yang terjalin. Dan saya baru menyadari bahwa keadaan jiwa-jiwa yang merapuh karena luka sedemikian sensitifnya.

“Jiwa yang luka tak mampu membedakan antara tamparan maupun belaian halus”, inilah kutipan kasar dari buku ini. Buku Dalam Dekapan Ukhuwah.

Tersentak saya membaca kalimat ini. Terbayang ketika ada duri halus menelisip di jejari saya. Tersenggol pelan saya sudah membuat saya meringis sakit. Jika duri sekecil itu menellisip sudah mampu membuat saya mengaduh, apalagi sebuah candaan yang menyakitkan kepada sahabat yang tengah terluka jiwanya.

Saya sadar di dalam pergaulan yang ada saya tak mampu menghindari friksi-friksi kecil maupun besar. Wajar karena memang ada dinamisme pergerakan. Sangat wajar sekali.

Namun yang tidak wajar adalah sikap yang diambil di dalam menghadapi friksi-friksi itu. Ada pihak yang frontal, ada pihak yang lemah lembut. Dua-duanya tak salah maupun benar. Tergantung situasi.

Tak hanya kebenaran yang ia bawa, namun bagaimana membawakan saat yang tepat serta dengan langkah yang elegan disertai dengan bahasa yang menggugah jiwa. Itulah hakikat kebenaran yang harus disampaikan.

Dan saya sadar, saya telah salah langkah dalam menghadapi sahabat saya yang terluka itu.

Saya akui bahwa saya memang orang yang iseng. Yang ketika kumat mampu membawakan canda, meski terkadang canda itu memiliki friksi yang cukup tajam.

Namun kesalahan saya adalah menganggap semua orang mampu menerima friksi tersebut.

Padahal tidak semua orang “sehat” secara jiwa dan raga. Dan kebetulan, saya termasuk orang yang kurang waras apabila sudah bercanda.

Mungkin inilah yang membuat salah seorang sahabat cukup menjauhi saya beberapa waktu ini. Meski ia sering mengeluhkan satu dan lain hal kepada saya. Bercerita dari hati ke hati. Namun saya lupa untuk memperlakukan ia berbeda sebab lukanya.

Saya anggap ia cukup “sehat” dan kuat untuk menerima candaan saya yang berlebihan. Hingga akhirnya ia menjauh dan merintih sendiri.

Memang secara pergaulan kami masih bercanda. Namun secara hati, saya merasakan sedikit jarak yang merenggang diantara kami. Mungkin biarlah jarak itu saat ini merenggang. Karena kadang ada jarak yang ingin diambil agar tidak saling melukai.