Kisah Kekinian & Kisah Masa Lalu

Bismillah…

Saya percaya contoh yang baik jauh lebih bagus apabila dibandingkan dengan sejuta kata. Akan lebih melecut dibandingkan dengan cambukan cemeti. Contoh yang baik insya Alloh akan menggerakkan jiwa-jiwa yang melihatnya, yang membacanya, yang mendengarnya. Sebab contoh yang baik adalah perkataan tanpa kata. Ia berkata melalui sekat-sekat hati.

Pun demikian dengan apa yang kita dengar, yang kita lihat, yang kita baca yang yang diperhatikan. Jika ia memiliki kualitas yang menggerakkan, maka tanpa disuruh-pun jiwa-jiwa akan tergerak dengan perilakunya.

Namun memang sial ketika melihat di Indonesia. Contoh yang baik mahal harganya. Sebenarnya ia berserak dimana saja, namun sayang sekali yang kecil dan terserak itu biasanya terabai oleh hal-hal yang lainnya. Yang terkadang hal-hal lainnya itu adalah sebuah kejadian yang sepele dan kecil, namun dipersoalkan sedemikian rupa hingga sedemikian hal itu seolah-olah menjadi sangat penting.

Malam ini saya mendapatkan sebuah contoh buruk dan contoh baik. Sebuah kejadian yang memang tidak saling sambung dengan rentang waktu jauh lamanya. Sebuah kejadian terkini dan kejadian ratusan tahun silam.

I. Kisah Kekinian


Dalam kekinian masa ini, saya ingin menuliskan masalah yang sebenarnya sangat sepele. Namun entah kenapa, hal sepele ini diperumit dengan keras kepalanya satu orang tokoh beserta dengan “konco-konco”nya. Saya ingin menuliskan salah satu episode Nurdin PSSI.

Sebenarnya kepemimpinan ini dipenuhi banyak hal yang absurd. Aneh. Well, jujur saja saya bukan penggemar fanatik tentang sepakbola. Namun keanehan organisasi yang mengayomi persepakbolaan di Indonesia ini patut mendapatkan perhatian. Ada beberapa poin yang aneh di dalam peristiwa kekinian itu;

  1. Bagaimana mungkin seorang TERSANGKA (lebih tepatnya seorangĀ TAHANAN) memimpin sebuah organisasi besar. Yang anehnya Nurdin tidak secara legowo, tidak secara jantan, tidak secara fair untuk meletakkan jabatan yang notabene-nya adalah amanah. Apa dari 240 juta penduduk Indonesia ini tidak ada yang BISA menggantikan kepemimpinan Nurdin ketika di penjara? Aneh bukan?
  2. Nurdin berbicara tentang harga diri. Harga diri ia sendiri dan harga diri PSSI. Well, jika saya sebagai Nurdin, mungkin saya sudahbunuh diri karena saking malunya menampakkan muka karena status terdahulu saya sebagai tersangka. Dan ketika tuntutan mundur semakin kencang, bukankah itu menunjukkan KEEGOISAN dirinya sendiri dibandingkan harga diri yang digembar-gemborkan?

Banyak fakta yang lainnya. Namun tidak saya tulis. Saya rasa kedua hal itu SUDAH SANGAT CUKUP ketika berbicara tentang masalah kehormatan. Secara psikologis, sudah sangat wajar untuk merasa malu dengan status yang disandang.

Namun tentu saja itu bukan hanya salah Nurdin. Saya pernah membaca sebuah tulisan di buku yang berjudul Bukan (hanya) Salah Fir’aun. Pas banget tulisan ini sama dengan judul dari buku itu. Sebuah kumpulan ibroh (hikmah) yang ada di dalam majalah sabili. Sebagaimana kita ketahui, Fir’aun adalah seorang tiran yang lalim. Mengaku tuhan, menyembelih anak-anak kaum Bani Israil. Pendek kata Fir’aun di masa ini adalah seorang tiran kejam namun tidak logis.

Bagaimana mau logis ketika Fir’aun mengaku sebagai tuhan. Tuhan yang menciptakan alam. Bukannya tidak logis.

Pernah ada dialog di masa sebelum Fir’aun. Dialog antara Nabi Ibrahim dengan raja Namrud. Ketika Namrud mengaku bahwa ia bisa menghidupkan serta mematikan. Contohnya dengan ia membunuh siapa yang ia mau dan melepaskan hidup-hidup atas kemauannya pula. Namun dibalas dengan kalimat yang indah; “Alloh mampu menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, begitulah kata Nabi Ibrahim. Dan sang tirani terbungkam.

Maka sungguh sangat tidak logis ketika seorang tiran mengaku sebagai tuhan.

Kembali kepada Fir’aun. Ketika ia mengaku-aku sebagai tuhan, maka sungguh sangat tidak logis. Konyol. Namun sejarah berkata lain. Ketidak logisan itu ternyata mengalami pembenaran. Terbukti dengan kejahiliyahan Fir’aun mengumumkan legitilimasinya sebagai tuhan. Kekejaman dilakukan atas nama kekuasaan.

Hey.. Tapi ketika berbicara tentang kekuasaan. Tentu Fir’aun seorang tak kan mampu melakukan kekejaman itu. Ia seorang tak kan mampu melakukan aksi yang menyejarah dengan “one man action”. Ada pembenaran-pembenaran yang dilakukan melalui perpanjangan tangannya lewat para bawahannya. Fir’aun tak kan mampu berkuasa jika para bawahannya menentangnya. Maka ketika satu fragmen sejarah melukiskan tentang kekejaman Fir’aun, maka sesungguhnya dibaliknya ada kekejaman berjamaah yang tidak tertuliskan. Kesalahan ini memang jamaknya hanya diletakkan pada Fir’aun seorang, namun pada hakikatnya para bawahannya-pun turut andil ketika mereka tidak mampu memberikan masehat atau bahkan mencegah Fir’aun untuk berbuat lalim.

Kembali ke realitas kekinian. Nurdin tak kan mampu menggenggam erat kekuasaan PSSI dengan tangannya seorang. Lantas sebagaimana panggung sejarah yang biasanya terulang kembali. Kesalahan rezim Fir’aun kembali terulang di PSSI. Maka berbondong-bondonglah para oknum PSSI berusaha menggenggam kekuasaan (kembali) dengan taktik basi. Yang sesungguhnya masayrakat di zaman sekarang mampu “membaca” apa yang sebenarnya terjadi.

Maka yang nampak adalah muka-muka yang mungkin akan tercatat abadi di dalam sejarah. Sejarah yang suram tentunya. Well, mungkin hanya waktu yang mempu menjawab bagaimana ending dari kemelut PSSI ini.

Akan jauh berbeda dengan keharuman nama kisah masa lalu yang akan saya sajikan berikut ini.

II. Kisah Masa Lalu


Kisah yang satu ini adalah penggalan dari “Taiko”, kisah menyejarah tentang Toyotomi Hideyoshi. Kisah perjuangan “monyet” tanpa nama serta tanpa status apa-apa menjadi salah satu pilar pembaharu Jepang. Kisah yang sangat luar biasa!

Tentu tidak akan saya ulas buku seberat hampir satu kilo ini. He he.. ukurannya bukan halaman lagi, tapi satuannya udah kilo.

Di zaman itu adalah zaman huru-hara Jepang. Peperangan terjadi dimana-mana. Perebutan kekuasaan sudah menjadi hal yang biasa. Pendek kata, zaman itu adalah zaman dimana rakyat Jepang tidak bisa hidup dengan damai.

Hideyoshi ketika itu adalah seorang pejabat di bawah pimpinan Nobunaga. Nobunaga yang terkenal keras (bahkan beberapa pihak menyebutnya kejam) namun memiliki visi yang panjang mengenai satu pemerintahan di Jepang. Meski ia terkenal dengan beberapa tindakannya yang kontroversial, namun ia adalah salah satu pembaharu juga di masyarakat Jepang.

Secara ringkas ketiga pilar pembaharu ini dilukiskan dalam sebuah puisi;

Bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?

Nobunaga menjawab; “Bunuh saja!!”

Hideyoshi menjawab; “Buat burung itu ingin berkicau”

Ieyasu menjawab; “Tunggu”

Well, sekilas sudah bisa ditebak bukan bagaimana sifat masing-masing tokoh yang menyejarah itu?

Singkat cerita, suatu ketika Hideyoshi ingin menemui salah satu jenderal di provinsi musuh, jenderal Kagekatsu. Posisi Hideyoshi ketika itu adalah sebagai pejabat dibawah pimpinan Nobunaga. Di zaman perang, sudah menjadi sangat umum dengan lobi-lobi politik tingkat tinggi. Negosiasi sudah menjadi hal yang biasa. Namun biasanya sebelum ada proses negosiasi, dimulai terlebih dahulu dengan pengiriman kurir ke masing-masing pihak. Dan kode etik yang tidak tertulis menyebutkan bahwa kurir tidak boleh dibunuh.

Kode etik berarti harga diri.

Namun Hideyoshi melakukan sebuah hal yang berbeda di masa itu. Hideyoshi menganggap bahwa jenderal Kagekatsu adalah seorang yang besar, terhormat dan disegani. Maka dengan penuh percaya diri ia datang beserta segelintir pengikutnya ke benteng tempat bercokol Kagekatsu. Bayangkan suasana yang ada. Dengan sumber daya yang minim, namun berani memasuki benteng musuh.

Di masa itu-pun Hideyoshi terkenal juga sebagai bawahan yang meroket karirnya. Apa yang ia pimpin, maka arus pembaharuan serta kemajuan pasti ada! Kemajuan di pihak sendiri pastinya. Dan tentu saja kemajuan di pihak sendiri pasti membuat khawatir pihak musuh.

Dan sangat logis ketika Hideyoshi yang menjadi ancaman dengan sengaja masuk ke sarang musuh adalah sebuah berkah tersembunyi. Tentu sangat wajar ketika pihak yang berseberangan memasuki sarang musuh dianggap sebagai aksi bunuh diri. Sebab bisa saja pihak lawan membunuh Hideyoshi karena ia hanya sendirian. Tak sulit karena Hideyoshi bukanlah seorang pendekar yang mumpuni. Tak sulit tentunya. Tinggal menyediakan sejumlah samurai maka nyawa Hideyoshi akan tamat dengan mudahnya.

Dan peluang itu ada, beberapa bawahan Kagekatsu bahkan menyarankan membunuh Hideyoshi begitu ada kesempatan. Aji mumpung.

Namun ada salah satu pernyataan bawahan Kagekatsu yang menyejarah;

“Hideyoshi datang ke tempat ini tanpa perlindungan”

“Bukan tindakan tolol, tapi sebagai bukti rasa hormatnya yang dalam kepada Lord Kagekatsu. Ia tak akan mengambil resiko seperti itu seandainya ia berhadapan dengan orang yang lain. Karena ia menjunjung tinggi reputasi tuan yang agunglah, maka ia mempercayakan dirinya kepada kita.BILA KITA MENYALAHGUNAKAN DAN MEMBANTAINYA, KISAH KELICIKAN KITA AKAN TERUS TURUN HINGGA KE ANAK CUCU KITA

Sebuah kelimat yang dahsyat sekali! “Kisah kelicikan kita akan terus turun ke anak cucu kita”, begitulah bawahan menasehati Kagekatsu. sebuah kalimat yang sederhana, namun mampu memberikan kesadaran hingga beratus-ratus tahun lamanya.

Memang ironis dengan kisah masa kini dan masa lalu. Dan memang sialnya kisah kekinian itu banyak terjadi di Indonesia saat ini. Yang terus terang saja, sudah membuat saya muak dengan keadaan negara ini. Masa’ tidak ada teladan-teladan yang mampu memberikan contoh bagaimana menjadi seorang yang terhormat? Dan kalaupun ada, kenapa tidak di ekspose hingga mampu menggerakkan jiwa-jiwa yang gelisah?

Memang, kondisi yang ada menyuburkan aroma pesimisme kemajuan. Dari segala sisi bangsa ini diserang serta dilemahkan hingga tak tahu bagaimana arahnya.

Namun, Alloh adalah persangkaan para hambaNya. Semoga kenyataan yang ada, tak menyurutkan langkah untuk berbuat yang terbaik. Meski jalannya terjal berliku, namun ada HARAPAN di depan sana. Ketika terus maju dan bergerak, maka keajaiban (yang diharapkan) insya Alloh akan hadir dengan segala usaha-daya-upaya serta doa.

Semoga Alloh memberikan kemudahan serta memampukan…

****** jadi PSSI?

Indonesia pada tahun 2010 tercatat memiliki 237 juta penduduk. Jumlah yang sangat fantastis. Luar biasa apabila seluruh potensi yang ada tergali. Luar biasa sekali apabila negeri ini potensinya tergali dengan benar. Bayangkan apabila 10 persen saja rakyat Indonesia adalah golongan pemuda yang memiliki semangat menggelora diimbangi dengan ilmu pengatahuan yang memadai serta akhlak yang lurus.

Hal itu berarti 23,7 juta jiwa yang mampu menggerakkan. Sangat luar biasa sekali!

Ada seorang sahabat yang suatu ketika mengikuti Training of Trainer di kantor pusat instansi kami di kawasan Gatot Subroto kavling 40-42. Di dalam coaching tersebut ada seorang trainer terkenal yang nyeletuk; “Susah sekali instansi ****** berubah”

What the… Ternyata si trainer curcol dengan beberapa pelatihannya.

“Dari petinggi tidak mampu mendukung untuk berubah, paradigma lama masih dipakai di jaman baru ini”, begitulah keluhnya ketika bercerita tentang reformasi birokrasi. Dan alhamdulillah, beliau merasakan hal yang berbeda ketika mengadakan pelatihan di instansi kami. Ada angin perubahan yang berhembus menuju perbaikan.

Percakapan itu mengingatkan saya dengan sebuah kejadian yang beru-baru ini berlangsung. Sebuah proses suksesi kepemimpinan. Dari kepemimpinan yang lama menjadi hal yang baru. Sebuah perubahan sangat diharapkan.

Namun sayangnya dari keempat calon yang ada, yang terpilih hanyalah 2 bakal calon. Itu-pun yang satu adalah seorang telah benar-benar TERBUKTI GAGAL memimpin sejak tahun 2003!

Logika saya yang malas saja masih mampu kok memaksa saya berpikir secara sehat. Orang yang sejak 7 tahun lebih memimpin dan TANPA PRESTASI yang membanggakan kok masih saja MAU MENCALONKAN diri sendiri! Dimana rasa malu dan harga diri dari yang bersangkutan?

Well, kekeras kepalaan yang bersangkutan memang tangguh. Super bebal!

Tapi yang tak habis pikir, pencalonan ini adalah sebuah kerja kolektif. Kerja satu team untuk merumuskan, menimbang dan memilih kriteria yang ada. Bukan hanya keputusan sepihak dua pihak. Namun banyak pihak yang terlibat. Dan pihak-pihak ini adalah pihak yang memiliki kuasa besar di dalam instansi tersebut. Sebab, pihak ini telah diamanahi oleh instansi tersebut guna menimbang kepemimpinan dalam 4 tahun ke depan.

Tentu bukan keputusan yang main-main saja.

Tapi kenapa pihak yang diamanahi tersebut tidak mampu berlogika secara paling sederhana? Sudah 2 periode terlewati dengan tanpa hasil yang membanggakan. Tapi kenapa yang bersangkutan masih terpilih? Akankah analisis seorang trainer yang saya kemukakan di depan bakal terbukti? Bahwa instansi yang saya tulis ****** diatas dapat tergantikan oleh susunan huruf PSSI?

Ah, mungkin memang pengandai-andaian saya berlebihan. Tapi yang pasti, saya sangat berharap di dalam EYD kita, KORUPSI jangan sampai bertranformasi menjadi KORUPSSI.

Cukup satu “S” saja.