Nasionalisme Abal-abal?

 

Saya sering merasa bahwa masyarakat kita ini adalah masyarakat yang aneh. Kenapa? Karena ada beberapa hal yang bersifat seremonial sementara di lain hal, ketika sesuatu yang seremonial ini diuji dengan sebuah hal yang kecil, akan nampak mana seremonial yang benar-benar tulus atau tidak.

Seremonial, saya sedikit menerangkan tentang apa yang saya anggap sebagai seremonial. Simpelnya adalah; “Pernahkah anda upacara bendera?”. Well, saya pikir hampir semua orang menjawab “ya”.

Upacara bendera adalah sebuah hal yang dahsyat sebenarnya. Dimana jika terlaksana dengan benar, maka proses komunikasi antara pemimpin dengan bawahan akan terjalin. Meski jujur saja, komunikasi yang ada hanyalah komunikasi satu arah. Namun, setidaknya sebagai warga masyarakat sekolah, akan memahami beberapa kebijakan melalui penyampaian komunikasi lewat upacara bendera.

Tapi apakah hasilnya seperti itu?

Nyatanya beberapa hal terjadi sebaliknya. Banyak yang membenci upacara bendera. Kenapa? Karena rata-rata menganggap itu tidaklah penting.

Sama lain halnya dengan beberapa acara yang diada-adakan. Misalnya tentang peringatan ini dan itu. Hari pahlawan, hari pendidikan dan berbagai hari-hari yang lainnya.

Saya seringkali menganggap hal-hal itu bukanlah esensi dari perwujudan kenangan atas beberapa hari yang penting itu. Hanya sekedar perayaan tanpa mengupas tuntas “isi” dari peringatan tersebut.

Apakah hal ini termasuk gila pesta?

Wallahu a’lam.. Mungkin ini adalah bentuk masyarakat harmonis khas bangsa timur. Masyarakat yang akrab dan lekat dengan budaya timur yang penuh dengan toleransi. Mungkin inilah bentuk “adat” yang nyata dalam masyarakat kita.

Tentu ada sisi negatif dan positifnya. Negatifnya saya menganggap hal ini hanya bersifat “resmi-resmian” saja, sementara efek positif yang nampak adalah bentuk kerukunan dan keakraban serta silaturahmi yang terjalin. Meski sekarang ada beberapa pandangan mengenai efek dari acara-acara yang bersifat seremonial ini. Jujur, sebagai seorang yang sering “grusa-grusu” khas anak kemarin sore, saya sering menganggap acara seremonial seperti ini sebagai bentuk acara yang rumit, njlimet dan tidak praktis. Namun, ketika hendak membangun relasi, komunikasi serta hubungan-hubungan yang lain, memang mau tidak mau harus memanfaatkan sesuatu yang bersifat seremonial. Tentu saya tidak menafikan tentang acara-acara seperti ini.

Okey, cukup tentang penjelasan seremonial ini. Tentu panjang lebar serta membosankan.

Ada sebuah hal yang menggelitik. Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan seremonial yang saya terangkan diatas.

Teringat dengan dua buah kejadian yang berurutan dalam rentang waktu yang tidak begitu lama. Beserta dengan satu event penting. Dua peristiwa dan satu event penting ini memiliki embel-embel “Nasional is Me” dalam bahasa kerennya. Sebut simpel saja “Nasionalisme”.

Satu event penting itu adalah piala AFF 2010. Sebuah event olahraga yang ternyata mampu menyatukan diri rakyat Indonesia. Saling dukung dan saling tepuk tangan membahana untuk skuad lapangan tempur. Segala hal memerah putih.

“Belah dadaku! Ada merah putih di dalamnya!”, begitulah semangat ini membahana.

Yang pasti ada kebanggan menelusup ketika mendukung skuad merah putih. Ketika berteriak kegirangan dan dada berdegub kencang melihat bola yang mengulir diantara kaki-kaki pemain, doa-doa terucap mengharapkan kemenangan.

Menurut saya, ini adalah saat yang membuat diri merasa menjadi bagian dari Indonesia yang besar ini. Terlihat dari antusiasme warga ketika merayakan kemenangan dan kekecewaan yang mendalam ketika kekalahan pahit itu tercecap.

Namun.

Sekali lagi namun… Apakah nasionalisme ini nasionalisme cap abal-abal?

Saya menyangsikannya ketika mengulas dua peristiwa yang berurutan.

Pertama, tentang wacana pemblokiran Blackberry serta yang kedua tentang isu bahwa pihak MPA akan memboikot film Hollywood ke Indonesia.

Apa pasal? Ternyata untuk kedua hal yang bersifat kedaulatan negara itu, banyak ditentang oleh rakyatnya sendiri. Ramai-ramai menghujat serta menyalahkan. Bola panas menggelinding kemana-mana.

Blackberry.. Layanan ini sangat rawan menurut saya jika negara tidak memiliki kontrol. Well, saya bukan penganut paham diktatorisme seperti yang nampak di beberapa belahan negara yang lainnya. Yang menutup akses beberapa hal mengenai akses data. Namun saya berpikir tentang data-data rahasia yang tersimpan di dalam media penyimpanan pihak lain.

Tentu saya tidak cukup bodoh bukan? Bandingkan saja ketika anda memasukkan beberapa kata di dalam Google. Langsung keluar dengan hasil yang mendekati maksud anda bukan? Say menganalogikan layanan Blackberry dengan layanan Google. Data sekilas yang pernah saya baca, Indonesia termasuk kelas wahid dalam mengakses situs porno. Data ini didapatkan dari Google.

Bayangkan! google yang bersifat terbuka saja mampu menunjukkan sisi yang lain bangsa Indonesia, apalagi yang bersifat tertutup?

Sedangkan yang kedua adalah masalah film asing wa bil khusus film Hollywood. Isu yang sangat aktual. Hangat sekaligus panas!

Apa pasal? Hujatan banyak ditujukan ke pemerintah!

Masa’ sih sampai segitunya mengenai film-film Hollywood ini? Seolah-olah tanpa film Hollywood, ada bagian besar rutinitas yang hilang. Ada hiburan yang menghilang tepatnya.

Memang, sialnya film-film lokal banyak yang murahan. Dari cerita yang murahan, aktor yang murahan sampai-sampai iklannya-pun murahan. Meski tidak semua. Ada beberapa sutradara top dan idealis dalam membuat film-film bermutu.

Tapi lagi-lagi emosi yang dikedepankan. Ramai-ramai menghujat pemerintah. Telunjuk dengan pasti terarah. Padahal, berita itu hanyalah isu saja. Belum terklarifikasi. Hanya sebatas sudut pandang salah satu pihak saja.

Sebagaimana dengan berita di sini dan di sini. Akhirnya ada kejelasan bahwa isu tersebut dihembuskan oleh juru bicara pihak penyelenggara bioskop serta kejelasan tentang ketidakberesan impor film.

Ketika ini saya merasa bahwa ternyata dengan majunya teknologi yang ada melalui internet dan media massa yang lainnya, diikuti dengan kritisnya masyarakat. Ramai-ramai menghujat serta menyalahkan.

Apakah sebelum menyalahkan sudah ada data yang benar?

Apakah sebelum menghujat sudah ada konfirmasi beberapa pihak terkait?

Yang pasti sebuah kesimpulan yang saya tangkap melalui pemikiran saya, bangsa ini SANGAT TERGANTUNG KEPADA PIHAK ASING. Yang ironisnya, inferioritas alias ketidakpercayaan diri itu masih tetap ada di dalam ketergantungan terhadap pihak asing tersebut.

Blackberry & Hollywood…

Produk yang lebih banyak dimanfaatkan “fun”nya doang ketimbang dengan hal yang lainnya. Maklum, masyarakat kita adalah masyarakat konsumtif. Tidak perlu data njlimet, cukup lihat fakta di jalanan saja. Nampak kok.

Tapi dengan adanya “insiden” Blackberry serta Hollywood ini membuat satu pertanyaan muncul di dalam dada saya;

“Apakah nasionalisme yang digembar-gemborkan ini adalah nasionalisme abal-abal?”